Tradisi Menyambut Lebaran, Meugang Day

Pustaka-Tradisi adalah istilah yang berkaitan dengan cara, metode, atau gaya yang khas. Tiap bangsa atau komunitas pasti memiliki tradisinya sendiri. Tradisi ini bisa bersifat khas dan unik. Hari Raya Idul Fitri merupakan moment penting dan sakral yang sangat dinantikan oleh seluruh umat islam di dunia. Idul Fitri yang dirayakan setiap tahun identik dengan beragam tradisi  menyenangkan yang melekat dalam kehidupan muslim di seluruh dunia. Khususnya untuk masyarakat aceh, terdapat sebuah tradisi yang masih berlangsung hingga sekarang, salah satunya tradisi Meugang atau juga dikenal dengan berbagai sebutan antara lain Makmeugang, Haghi Mamagang, Uroe Meugang atau Uroe Keuneukoh.

Tradisi ini telah muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh yaitu sekitar abad ke-14 M.  Ali Hasjimy menyebutkan bahwa tradisi ini sudah dimulai sejak masa kerajaan Aceh Darussalam. Tradisi meugang ini dilaksanakan oleh kerajaan di istana yang dihadiri oleh para sultan, menteri, para pembesar kerajaan serta ulama (Iskandar, 2010:48). Pada hari itu, raja memerintahkan kepada balai fakir yaitu badan yang menangani fakir miskin dan dhuafa untuk membagikan daging, pakaian dan beras kepada fakir miskin dan dhuafa. Semua biayanya ditanggung oleh bendahara Silatu Rahim, yaitu lembaga yang menangani hubungan negara dan rakyat di kerajaan Aceh Darussalam (Hasjimy, 1983:151)

Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda” menyebutkan adanya upacara meugang  di Kerajaan Aceh Darussalam, bahkan menurutnya, disana ada semacam peletakan karangan bunga di makam para sultan (Lombard:2007:204-205).

Ada yang menyebutkan bahwa perayaan meugang ini dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda sebagai wujud rasa syukur raja menyambut datangnya bulan Ramadhan, sehingga dipotonglah lembu atau kerbau, kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada rakyat. Setelah perang dan masuk penjajah Belanda, tradisi tersebut juga masih dilakukan yang dikoordinir oleh para hulubalang sebagai penguasa wilayah. Begitulah hingga saat ini tradisi meugang terus dilestarikan dan dilaksanakan oleh berbagai kalangan masyarakat dalam kondisi apapun (Iskandar, 2010:49).

Tradisi Meugang di Aceh dilaksanakan 3 kali dalam setahun, biasanya diadakan pada saat menyambut bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Meugang sangat penting bagi semua lapisan masyarakat di Aceh, karena sesuai dengan anjuran agama Islam, datangnya bulan Ramadhan sebaiknya disambut dengan meriah.Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa yaitu hari Meugang, masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembu yang terbaik untuk dihidangkan. Meskipun yang utama dalam tradisi Meugang adalah daging sapi, namun ada juga masyarakat yang menambah menu masakannya dengan daging kambing, ayam juga bebek sesuai dengan selera dan ekonomi masyarakat.

Meugang merupakan wujud dari sebuah tafsir agama yang diamalkan dalam bentuk budaya masyarakat Aceh. Berdasarkan hasil penelitian dari Marzuki di laman https://ejournal.uin-malang.ac.id/, menunjukkan bahwa meugang merupakan salah satu praktek dari nilai-nilai dalam agama Islam. Tradisi ini dijadikan sarana pengamalan ajaran agama, seperti barang siapa yang senang menyambut bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan tubuhnya dari api neraka. Hal ini ditunjukkan dengan makan daging sebagai bentuk senangnya orang Aceh, serta mengadakan kenduri mengharapkan pahala dari kenduri atau sedekah makanannya. Tradisi ini telah melekat dalam diri masyarakat Aceh, sehingga tradisi ini seolah-olah adalah ajaran agama yang sangat dianjurkan, beroperasi menjadi bagian dari agama, dan seakan-akan menjadi kewajiban yang diperintahkan oleh agama.