Oase Iman : Hifdzul-Lisan

Pustaka IAIN Langsa – Pepatah Arab, ”lisan lebih tajam daripada pedang”. Lisan merupakan anggota badan manusia yang kecil, namun memiliki pengaruh besar pada pemiliknya antara menjadi Ahli surga atau dilemparkannya ke api Neraka. Tiap ucapan manusia selalu dicatat oleh malaikat yang hadir di dekatnya sebagai pengawas (QS Qaf: 18), demikian juga ketika ia berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam memperingatkan kita agar tidak banyak berbicara kecuali berbicara hal penting, bermanfaat, atau untuk berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Karena orang yang memperbanyak perkataan dan sedikit berdzikir akan keras hatinya (HR. Tirmidzi). Ayat Al-Qur`an dan hadits tersebut menunjukkan rentannya penggunaan lisan oleh seseorang.

Lisan yang dipakai untuk mengatakan hal yang salah, kebohongan, ghibah, adu domba, riya, munafik, mencari kesalahan orang lain, menyakiti orang lain, membela diri, dan sebagainya. Setelah berkata dengan lisan, memang terasa manis di hati, namun sebenarnya tersimpan bujukan dan hasutan setan. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat pertolongan Allah dan mengetahui semua akibatnya yang dapat menghidari tergelincirnya lisan. Bahkan pada taraf tertentu, seseorang tidak dikatakan beriman dikarenakan tidak menjaga lisannya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Yang disebut Muslim adalah orang yang lisan dan perbuatan tangannya membuat orang lain aman dan selamat.”(HR. Muslim). Keselamatan seseorang tergantung dari lisannya. Uqbah ibn `Amir menuturkan, “Aku pernah bertanya, ‘Wahai Rasul, bagaimana cara memperoleh keselamatan?’ Beliau menjawab, ‘Jagalah lisanmu niscaya rumahmu akan luas bagimu. Dan menangislah atas kesalahanmu.’

Menjaga lisan juga menjadi salah satu amalan untuk masuk surga. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Siapa yang menjamin apa yang ada di antara janggut (lisan) dan kedua kakinya (kemaluan) demiku, aku akan menjaminnya dengan surga.” Beliau juga bersabda, “Siapa yang menjaga pandangan, kemaluan, dan lisannya berarti dia telah terpelihara. Sebab, ketiga anggota tubuh inilah yang paling banyak mencelakakan manusia.”

Namun, karena lisan juga seseorang dapat dilemparkan ke api neraka. Seperti pertanyaan Mu`adz ibn Jabal kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, apakah kita akan disiksa karena sesuatu yang kita ucapkan?” Beliau menjawab, “Tidaklah manusia dilemparkan ke neraka pada lubang hidungnya kecuali akibat lisan mereka.”

Dalam riwayat Anas ibn Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam  juga bersabda, “Tidak akan lurus iman seseorang sebelum lurus hatinya. Namun, tidak akan lurus hatinya sebelum lurus lisannya. Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak selamat dari keburukan lisannya.”

Sa`id ibn Jubair meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Ketika seseorang memasuki waktu pagi, seluruh anggota tubuhnya juga turut memasukinya. Kemudian lisan bernyanyi, ‘Bertakwalah kepada Allah Subhanahu Wata’ala terhadap diri kami. Sesungguhnya jika engkau lurus, kami pun lurus. Namun, jika engkau bengkok, kami pun bengkok.”

Ketika bertalbiyah di Shafa, Ibn Mas`ud menuturkan, “Wahai lisan, katakan yang terbaik. Dengan begitu, kamu akan beruntung. Diamlah dari keburukan, niscaya kamu akan selamat sebelum menyesal.” Seseorang bertanya, “Wahai Abu Abdurrahman, apakah itu berasal darimu sendiri atau kau dengar dari Rasulullah?” Ibn Mas`ud menjawab, “Bahkan aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menyatakan, ‘Sesungguhnya kesalahan paling banyak dari anak cucu Adam adalah akibat lisannya.’”

Lisan seorang mukmin berada di balik hatinya, ia akan mempertimbangkannya dengan hati terlebih dahulu sebelum mengucapkannya. Sedangkan lisan orang munafik berada di depan hatinya, ia mengucapkan perkataan tanpa mempertimbangkannya dengan hati.

Dikisahkan bahwa Abu Bakar pernah meletakkan sebuah batu pada lisannya agar tidak berbicara. Lalu, ia memberi isyarat kepada lisannya dan berkata, “Ini mendekatkanku pada sumber segala sumber (Allah).” Ibnu Mas`ud menyatakan, “Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, tidak ada yang lebih memerlukan kekuatan besar untuk menjaganya selain lisanku.”

Abu Bakar ibn `Ayyasy pernah bercerita, “Suatu ketika, empat orang raja berkumpul. Mereka adala Raja India, Raja China, seorang kisra, dan seorang kaisar. Raja pertama berbicara, ‘Aku menyesali apa yang telah kukatakan, namun tak menyesali apa yang belum kukatakan.’ Lalu raja kedua berkata, ‘jika aku mengucapkan satu kata maka kata tersebut telah menguasaiku, bukan aku yang menguasainya. Namun jika aku tidak berbicara maka akulah yang menguasai kata-kata, bukan kata-kata yang menguasaiku.’ Raja ketiga juga berkata, ‘aku heran kepada orang yang berbicara padahal perkataannya membahayakan dirinya sendiri dan tidak memberikn manfaat baginya.’ Raja keempat pun berkata, ‘bagiku, membantah apa yang tidak aku katakan lebih mudah daripada membantah apa yang kukatakan.’

Satu-satunya cara untuk menjaga lisan adalah dengan diam. Sebagian ulama mengatakan: “Diam itu adalah hikmah, namun sedikit yang melakukannya”. Maka, hendaknya kita diam dan menghindari kata-kata yang tidak berguna yang dapat menyakiti diri sendiri apalagi orang lain.

Alangkah baiknya jika kita menggunakan lisan kita untuk lebih banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan menghiasi lisan kita dengan ayat Al-Qur`an, serta mengatakan ucapan-ucapan baik yang mendatangkan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.

#repost dari kajian oase iman karya Aqif Khilmia, Universitas Darussalam Gontor /Hidayatullah.com